Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam dan budaya, serta peningkatan toleransi umat beragama untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. (Asta Cita 8, Misi Capres dan Cawapres Prabowo-Gibran)
Bulan lalu (24/4) Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2024-2029 dalam Pemilihan Umum 2024. Penetapan itu berselang dua hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan berisikan penolakan terhadap seluruh permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.
Jika tidak ada aral melintang, sesuai PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, Prabowo-Gibran akan mengucapkan sumpah atau janji mereka pada 20 Oktober 2024. Indonesia akan punya presiden dan wakil presiden baru dalam waktu kurang-lebih lima bulan mendatang. Pasangan pamuncak tersebut akan menentukan arah-haluan ke mana bangsa dengan penduduk kurang-lebih 280 juta jiwa ini akan dibawa lima tahun ke depan. Termasuk, mereka akan menuntun daulat kebudayaan negara, dengan 1340 suku bangsa dan 546 bahasa yang tersebar di hampir 17.504 pulau. Negara yang dielu-elukan oleh Presiden Jokowi ber-DNA seni-budaya.
Beberapa hari belakangan santer beredar wacana presiden terpilih akan menambah kementerian, dari sebelumnya berjumlah 34 menjadi 40 kementerian. Yusril Ihza Mahendra dalam beberapa wawancara dengan media membenarkan perbincangan mengenai wacana tersebut sudah mulai berkembang di kalangan internal Koalisi Indonesia Maju. Ia mengatakan, struktur kabinet memang perlu dibahas untuk menyesuaikan dengan program-program presiden terpilih, dan keputusan ada di tangan Prabowo Subianto.
Di luar perdebatan soal urgensi menambah kementerian, adakah presiden terpilih turut memikirkan pembentukan Kementerian Kebudayaan, sebagaimana pernah diungkapkan Prabowo Subianto mendukung pikiran Anies Baswedan dalam Debat Kelima Capres 2024 (4/2). Ia menilai warisan budaya dan sejarah Indonesia memerlukan perhatian khusus. “…kalau saya jadi presiden, saya akan memikirkan (pembentukan) Kementerian Kebudayaan. Kalau ide yang baik dari mana pun saya bisa terima dan saya dukung,” kata Prabowo Subianto waktu itu.
Dan anggaplah catatan ini sebagai sebuah ide yang baik. Bagaimana beberapa tahun belakangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) dengan direktorat bagiannya, yaitu Direktorat Jenderal Kebudayaan, telah mendorong kolaborasi dan gotong royong antar lembaga dan kementerian, komunitas seni-budaya, dan seluruh ekosistem kebudayaan (masyarakat) dalam mendorong proses pemajuan kebudayaan. Kolaborasi, yang salah satunya pada tahun 2017 telah mendorong kehadiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia.
Sebuah undang-undang untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, menjadi masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik.
Pemajuan Kebudayaan dari akar rumput
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK) menjadikan istilah “pemajuan kebudayaan” sebagai koord utama. Istilah ini telah hadir jauh hari dan dimunculkan para pendiri bangsa melalui UUD 1945 dalam Pasal 32, dengan kesadaran bahwa kebudayaan merupakan pilar kehidupan bangsa, dan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Pada perubahan UUD 1945 melalui proses amandemen pada awal masa reformasi proses pemajuan kebudayaan makin ditegaskan dan dijadikan prioritas. Pasal 32 UUD 1945 bahkan dikembangkan melalui kalimat, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan kemendikbudristek, selang beberapa bulan UUPK disahkan mengungkapkan, kehadiran undang-undang yang telah mengalami proses pembahasan selama 35 tahun itu tidak tak berupaya membatasi kebudayaan, tetapi memajukannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia.
Kehadiran undang-undang ini juga mengubah paradigma lama dalam memandang kebudayaan. Posisi kebudayaan ditempatkan sebagai dasar haluan dan strategi pembangunan nasional. Seperti diungkap Ratri Ninditya, Peneliti Koalisi Seni Indonesia (Tirto.id, 30/4), bahwa strategi pemajuan yang dimandatkan dalam UUPK bersifat bottom-up dengan pelibatan masyarakat secara penuh. Salah satunya terkait objek pemajuan kebudayaan yang menjadi prioritas, didata dari tingkat kota/kabupaten, naik ke provinsi, baru ke nasional. Data ini dicatat dalam dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) kemudian diterjemahkan dalam lini-lini anggaran di tingkat kab/kota dan provinsi. Pusat tidak lagi menjadi kuasa untuk memilih mana objek kebudayaan prioritas, tapi melalui pelibatan dari tingkat akar rumput, dan daerah.
Obyek pemajuan kebudayaan meliputi 10, yaitu: Tradisi lisan, Manuskrip, Adat istiadat, Ritus, Pengetahuan tradisional, Teknologi tradisional, Seni, Bahasa, Permainan rakyat, dan Olahraga tradisional. Kesepuluh objek ini pun hadir tidak secara serta-merta, melainkan melalui pertimbangan sejumlah dokumen tentang sistem kebudayaan. Dua dokumen rujukan utama adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang fokus pada “budaya benda” (tangible cultural heritage), dan Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage yang dirumuskan UNESCO pada 2003 yang fokus pada “budaya takbenda”. Paduan kedua sistem kebudayaan ini menjadikan UUPK mempunyai cakupan wilayah kerja yang luas mulai dari objek kebudayaan paling kasat mata dan paling abstrak.
Mempertahankan Program Esensial
Keikutsertaan masyarakat memang menjadi syarat mutlak dalam perencanaan Pemajuan Kebudayaan dalam UUPK. Direktorat Jenderal Kebudayaan (Ditjenbud) melalui program prioritas yang bersifat inovatif sebagai perwujudan dari amanat UUPK beberapa tahun belakangan juga telah mengubah paradigma perencanaan kebijakan kebudayaan nasional. Dari top-down (berlandaskan Rencana Strategis yang disusun Direktorat Jenderal) menjadi bottom-up (berlandaskan PPKD yang disusun masyarakat dan pemangku kepentingan). Paradigma ini bermuara pada keinginan bahwa pemerintah harus berperan aktif sebagai fasilitator untuk memperkuat ekosistem kebudayaan.
Empat langkah strategis dalam pelaksanaan UUPK juga mengikuti setiap kebijakan turunan Ditjenbud meliputi perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Keempat langkah saling terhubung yang diamatkan dalam UUPK ini bertujuan untuk memperkuat unsur-unsur dalam ekosistem kebudayaan dan mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia di dalamnya.
Setidaknya, dari empat langkah strategi pelaksanaan UUPK ini, para pelaku budaya atau masyarakat terkait dengan kebudayaan telah merasakan dampak dari beberapa program esensial pemajuan kebudayaan yang digulirkan Ditjenbud. Beberapa di antaranya meliputi Dana Indonesiana (Faslitiasi Bidang Kebudayaan, Beasiswa Pelaku Budaya, Pemanfaatan Dana Abadi Kebudayaan); Perencanaan budaya partisipatoris (PPKD, DPKD, Strategi Kebudayaan, RIPK), Pelumbungan Inisiatif Budaya (Pekan Kebudayaan Nasional), Pemberdayaan Pengetahuan Lokal Berbasis Diversitas Biokultural (Desa Pemajuan Kebudayaan, Jalur Rempah, Sekolah Lapang Kearifan Lokal), Peningkatan Kapasitas Tata Kelola Budaya (platform Indonesiana, penataan asosiasi profesi, LMKI dan sertifikasi profesi), Intervensi Strategis Cagar Budaya (Revitalisasi Kawasan Muaro Jambi, repatriasi benda cagar budaya), dan beberapa program esensial lain.
Keragaman program tersebut telah menunjukkan UUPK berpijak pada keseharian masyarakat dalam berbudaya, dari yang paling tradisional sampai yang paling kontemporer, dari yang hampir punah hingga yang terus berkembang. Hal ini juga menandakan adanya kesadaran pemerintah, bahwa masyarakat adalah pemilik sekaligus penggerak kebudayaan, ia hadir dari proses yang melandasi setiap jengkal hajat hidup masyarakat. Sebagaimana ditulis pemajuankebudayaan.id, memajukan kebudayaan berarti memajukan setiap unsur dalam ekosistem kebudayaan, serta berbagai ekosistem lain yang mempengaruhinya dan mempengaruhinya.
Seperti dituliskan di atas, anggaplah catatan ini sebagai sebuah ide yang baik, dan sebagaimana Presiden Terpilih pernah katakan, “kalau ide yang baik dari mana pun saya bisa terima dan saya dukung,” maka program prioritas atau program esensial pemajuan kebudayaan berlandaskan UUPK yang telah berjalan dengan baik mesti menjadi dasar dari wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan. Program tersebut mesti dijaga dan diperkuat keberlangsungannya untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia menjadi masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan. Akan tetapi, apakah Presiden Terpilih masih memikirkan adanya Kementerian kebudayaan? (*)